Judul Resensi Buku:
Api Peristiwa Galung Lombok
(Resensi Buku: Basong Hadji Magana) -- PERISTIWA Galung Lombok, Provinsi Sulawesi Barat, menjadi catatan kelam, sebuah tragedi kejahatan perang pada masa pendudukan Belanda di bumi Sulawesi yang dilakukan Westerling dan pasukannya. Komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau Pasukan Khusus dari Nederland Indische Civil Administration (NICA) beserta segenap pasukan pendudukan Belanda telah membantai 40.000 rakyat yang terjadi di Galung Lombok dan sekitarnya di Sulawesi.
Buku “BASONG HADJI MAGANA: Api Peristiwa Galung Lombok” ini adalah sebuah memoar sang tokoh, yang sekaligus menjadi Panglima Gapri 5.3.1. setelah gugurnya Muhammad Soleh Bandjar, tentang perang mempertahankan kemerdekaan dan perlawanan terhadap negara boneka bentukan Belanda, Negara Indonesia Timur (NIT) di Sulawesi (Negara boneka yang dibentuk setelah dilaksanakan Konferensi Malino pada 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946). Cerita tokoh dari Sulawesi ini baru bisa diterbitkan tahun ini (2015) sejak 1970-an sang tokoh telah mendokumentasikan catatan pribadinya. Dan, Anda pembaca berkesempatan membaca resensinya di blog Best-seller Books.
Sang tokoh, Basong Hadji Magana (10 November 1917 -1982), merupakan saksi mata sekaligus pelaku sejarah perlawanan rakyat Sulawesi terhadap pendudukan Belanda dan tragedi kejahatan perang yang dilakukan sang algojo, Westerling, dan pasukannya. Memoar sebanyak 4 bab ini selesai ditulis pada 1970 dan masih berbentuk tulisan tangan. Baru pada 2015 ini, catatan pribadi sang pelaku sejarah yang berasal dari Mandar, Sulawesi Barat, ini kemudian diterbitkan sebagai buku dalam jumlah terbatas oleh putranya, Junus Hair Muniaga.
Membaca memoar setebal 160 halaman ini yang kemudian diresensi oleh Suro Prapanca, seperti menguak kembali bagaimana Basong Hadji Magana mengalami pahit-getir kehidupan. Seburuk apa pun perlakuan sedadu Belanda terhadap warga asli Mandar ini takkan pernah bisa menghalangi lahirnya seorang penantang dari Kampung Subbi, Desa Tande, Banggae, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (dulu masuk wilayah Sulawesi Selatan). Tidak seorang kerabat maupun kawan semasa kecil mengira, Basong bakal menjadi buruan tentara Belanda. Pada masanya, pria ini dianggap ekstremis atau orang berbahaya. Ketika menjabat Panglima Perang II Gabungan Pedjuang Republik Indonesia (Gapri) 5.3.1, dia pun dipercaya memimpin penyerangan ke sejumlah tangsi militer Belanda di wilayah administratif (afdeling) Mandar.
Salah satu kisah menarik dalam memoar yang ditulis bergaya novel ini, pagi hari 1 Februari 1947, Basong bersama tujuh rekannya yang tergabung dalam laskar Gapri 5.3.1. bergerak menyisir para serdadu Belanda yang menebar teror kepada masyarakat di kawasan Taloloq (sekarang wilayah Desa Baruga, Banggae, Kabupaten Majene). Baku tembak dan saling lempar granat tidak dapat dihindari. Dalam pertempuran sengit itu Basong mencatat, seorang anggotanya, yaitu Sukirno tewas dan Jonggang mengalami luka parah.
Di satu sisi, para pejuang berhasil menawan hidup-hidup tiga serdadu asli Belanda. Dendam yang tak tertahankan membuat para pejuang menggantung ketiganya di dua pohon besar dengan posisi terbalik. Akibat perbuatan yang dilakukan pasukan DST, ketiga serdadu Belanda ini menjadi tumpahan kemarahan para pejuang. Mereka pun akhirnya tewas di tangan pejuang.
Informasi terbunuhnya ketiga serdadu Belanda itulah yang memicu kemarahan anak buah Westerling, Letnan Vermeulen yang sudah mengumpulkan seribu lebih orang di Galung Lombok kemudian memerintahkan anak buahnya untuk membombardir dengan tembakan membabi-buta terhadap kerumunan massa rakyat Sulawesi itu (Peristiwa Panyapuang Galung Lombok, 2 Februari 1947).
Dikutip dari film dokumenter berjudul “Pembantaian di Galung Lombok” yang dibuat budayawan Muhammad Ridwan dan sejarawan Thalib Banru, menyebutkan bahwa peristiwa penembakan membabi-buta ke arah kerumunan massa yang merupakan warga sipil, baru terjadi dua kali di dunia, yaitu selain di Galung Lombok (diperkirakan menewaskan 700-an warga sipil), juga terjadi di Amritsar, India, pada Minggu, 13 April 1919 yang dikenal sebagai Jallianwala Bagh Massacre.
Basong Hadji Magana: “Aku mohon dan berharap agar saudara-saudara pembaca memoar ini tidak kecewa karena terpaksa harus menyelami dan menghayati rasa dan perasaan hatiku yang sesungguhnya sangat sukar untuk ditulis dan dilisankan melalui kata dan huruf. Semoga memoar ini berfaedah dan diambil manfaat bagi diriku, keluargaku, dan anak-cucu dari generasi keturunanku. Menjadi buku bacaan untuk mempelajari replik-replik sejarah, kebangunan bangsa, agama, kebudayaan, dan kebangkitan nasional.” Membaca buku ini, Anda akan mendapatkan gambaran perjuangan seorang tokoh pejuang Sulawesi mempertahankan ideologi dan keyakinannya. Selamat membaca! Resensi buku ini juga dimuat di harian umum Inilah Koran.
Judul : BASONG HADJI MAGANA: Api Peristiwa Galung Lombok
ISBN : 978-602-73011-0-8
Penulis : Junus HM
Diterbitkan : Penerbit Prasta Hutama Medya
Cetakan I : Agustus 2015
Tebal : 160 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14 x 21 cm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar