BAHTERA: Bahasa dan Terjemahan Indonesia
Profesi penerjemah merupakan profesi yang telah turut mewarnai kehidupan di Indonesia. Ada begitu banyak informasi yang dapat diserap, dimanfaatkan, dan dikembangkan lebih lanjut hanya setelah diolah oleh para penerjemah. Sekadar contoh, Harry Potter seri tujuh novel fantasi yang dikarang oleh penulis Inggris JK Rowling (juga dijadikan film yang ternyata menjadi film paling sukses sepanjang masa). Tentu kisah mendunia itu tidak bakal sampai ke pembaca dan pemirsa di Indonesia, tanpa personel yang terampil dari seorang penerjemah.
Hasil karya penerjemah tersebut bisa Anda ditemui di semua bidang kehidupan, akan tetapi harus diakui bahwa profesi tersebut belumlah sepopuler profesi lain, seperti dokter, pengacara, atau pengarang misalnya. Inilah barangkali prakarsa milis para penerjemah di Indonesia, Bahtera (Bahasa dan Terjemahan Indonesia), sebagai upaya untuk lebih mendekatkan profesi ini kepada masyarakat di Indonesia.
Apa yang membuat penerjemah berkembang maju? Bakat saja ternyata tidak cukup karena meskipun proses penerjemahan adalah kombinasi antara bakat, motivasi, dan teknik, kedua faktor terakhirlah yang utama. Untuk itu, ada dua hal penting yang perlu dilakukan. Pertama, memperhatikan berbagai peristiwa kebahasaan dan kebudayaan, termasuk teknologi dan ekonomi, untuk meningkatkan kualitas terjemahan. Kedua, berusaha meningkatkan jam terbang dan menggali informasi tentang teknik penanggulangan masalah penerjemahan.
Mengawali tahun 2013, milis penerjemah Bahtera kembali meluncurkan buku kumpulan tulisan para anggotanya. Buku pertama, Tersesat Membawa Nikmat (2009) didominasi oleh penuturan para penerjemah tentang perjalanan karier mereka yang seolah diawali secara tidak sengaja. Buku kedua, Menatah Makna (2011) menekankan unsur keterampilan dan kerja keras serta ‘jam terbang’ yang dijalani pelaku profesi ini (penerjemah) dalam kegiatan usaha mereka sebagai penyampai makna.
Buku ketiga, Pesona Penyingkap Makna (2013) ingin lebih menekankan sisi daya tarik profesi ini yang menyebabkan beberapa penulis dengan yakin dan percaya diri beralih profesi. Dalam buku ini dihadirkan pula banyak informasi penting yang membantu memberdayakan penerjemah, terutama dalam tulisan berjudul ‘Semakin Bernas Semakin Berdaya’. Petunjuk praktis yang sangat bermanfaat diagihkan pula dalam ‘Kiat dan Siasat’ yang mudah-mudahan semakin mempertebal bekal para penerjemah dalam meniti karier mereka.
Di masa kini, untuk diakui sebagai penerjemah yang andal ternyata tidak hanya cukup mengantungi ijazah perguruan tinggi saja. Pengalaman dan pelatihan selanjutnya merupakan faktor penting dalam membentuk sosok penerjemah dan juru bahasa. Dalam hal ini ada milis Bahtera dan HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia) bergandengan tangan menyediakan beragam pelatihan, seminar, dan lokakarya di berbagai provinsi di Indonesia untuk membantu mereka yang berminat terjun ke profesi ini. Dan buku ini mengisahkan pengalaman mereka dalam perjalanan hidup sebagai penerjemah. Dari semua materi yang terlihat serius ini ternyata bidang penerjemahan merupakan salah satu lahan subur untuk mendulang penghasilan yang berlipat-lipat. Caranya? Silakan Anda baca dahulu seluk-beluk dunia penerjemahan dan kiat-kiat rahasia di balik kesuksesan itu melalui seri buku penerjemahan dari milis Bahtera ini.
Judul : Pesona Penyingkap Makna
ISBN : 978-602-9056-47-1
Penulis : Anggota Milis Bahtera
Penyunting : Sofia F Mansoor dan Maria E Sundah
Penerbit : Penerbit ITB
Cetakan : April 2013
Tebal : 216 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14,5 x 21 cm
Kategori : Bahasa dan Terjemahan
Bandung, 17 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 26 Mei 2013
Minggu, 26 Mei 2013
Rabu, 22 Mei 2013
Resensi Buku - CERITA AZRA
Azyumardi Azra Sang Intelektual Organik
Azyumardi Azra adalah seorang pakar sejarah dan peradaban Islam yang diakui dunia internasional. Azra —biasa dia dipanggil— seorang cendekiawan Muslim “pendobrak”. Kiprahnya di dunia pendidikan menghasilkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain. Salah satu hasilnya adalah bertransformasinya IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN Syarif Hidayatullah, yang menjadikan institusi pendidikan Islam bisa masuk ke dalam arus utama, menjadi lebih open-minded, berkualitas, dan bermartabat di mata masyarakat.
Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini juga orang Indonesia pertama yang meraih gelar Commander of the British Empire (CBE) dari Ratu Inggris. Dia berhak dipanggil “Sir” dan memiliki hak-hak yang juga istimewa, seperti bebas keluar-masuk Inggris tanpa visa dan bisa juga minta (jika beliau mau) dimakamkan di Inggris Raya. Gelar ini pun lebih tinggi daripada pesepak bola terkenal, David Beckham, yang ‘hanya’ bergelar Officer of the Order of British Empire (OBE) dan beberapa orang populer lainnya di Inggris.
Membaca buku berjudul CERITA AZRA: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra seperti sebuah cerminan tentang apa yang mungkin pembaca dapatkan dalam hidup, selama mau berusaha cukup keras. Apa pun bisa dicapai jika kita berupaya; seperti ungkapan populer dalam bahasa Inggris, the sky’s the limit. Pemikiran Azyumardi yang moderat juga sangat berguna untuk diambil sebagai pelajaran. Dia termasuk salah satu dari sedikit pemikir Islam yang bisa mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang bertentangan. Pikirannya cukup terbuka dan hatinya cukup lembut untuk dapat melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut, kecenderungan yang tidak dimiliki semua orang.
Buku biografi yang ditulis seorang Editor, Andina Dwifatma, ini juga mengupas intisari pemikiran Azyumardi yang menyepakati pendapat bahwa cendekiawan semestinya dapat merekontekstualisasi berbagai gagasan yang bertebaran di dunia pemikiran dengan situasi negara, sehingga menjadi bermanfaat untuk banyak pihak. Di samping itu, dia juga seorang aktivis. Di kisahkan bagaimana dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai Presidium Pimpinan Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), juga pernah menjabat Rektor UIN Jakarta, yang tentu saja untuk menangani semua itu tidak hanya cukup dengan konsep dan wacana serta teoritis. Sehingga, dia lebih pas dipandang sebagai ‘intelektual organik’.
Di antara berbagai hal yang biasanya beliau periksa dengan saksama, berkomentar dengan referensi yang kuat, dan analisis tajam mengenai dunia Islam, pendidikan, politik, dan sejarah --dalam biografi ini ada rangkuman empat pokok bahasan yang mendapat perhatian utama. Apa saja itu, tentu butuh berlembar-lembar untuk menyampaikannya dalam resensi ini. Bila CERITA AZRA ini ada di hadapan pembaca, sepertinya ini bisa diposisikan sebagai sebuah pengantar bagi pembaca yang ingin lebih jauh menyelami pemikiran sang intelektual organik ini.
Kombinasi pencapaian dan karakter Azyumardi menghasilkan sebuah cerita panjang yang darinya dapat disarikan suatu pelajaran. Dengan demikian, rasanya tidak terlalu salah jika penulis berharap biografi singkat —yang lebih tepat disebut kumpulan features—ini mengungkapkan kisah kehidupan Azyumardi Azra beserta sisi-sisi menarik kehidupannya yang jarang diketahui masyarakat. Dengan membaca buku ini, Anda akan terinspirasi oleh kisah hidupnya.
Judul : CERITA AZRA: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra
ISBN : 978-979-099-313-6
Penulis : Andina Dwifatma
Editor : Adhika Prasetya Kusharsanto
Penerbit : Erlangga
Cetakan : Maret 2011
Tebal : 248 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14,5 x 21 cm
Kategori : Biografi
Bandung, 17 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 19 Mei 2013
Azyumardi Azra adalah seorang pakar sejarah dan peradaban Islam yang diakui dunia internasional. Azra —biasa dia dipanggil— seorang cendekiawan Muslim “pendobrak”. Kiprahnya di dunia pendidikan menghasilkan inovasi-inovasi yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain. Salah satu hasilnya adalah bertransformasinya IAIN Syarif Hidayatullah menjadi UIN Syarif Hidayatullah, yang menjadikan institusi pendidikan Islam bisa masuk ke dalam arus utama, menjadi lebih open-minded, berkualitas, dan bermartabat di mata masyarakat.
Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ini juga orang Indonesia pertama yang meraih gelar Commander of the British Empire (CBE) dari Ratu Inggris. Dia berhak dipanggil “Sir” dan memiliki hak-hak yang juga istimewa, seperti bebas keluar-masuk Inggris tanpa visa dan bisa juga minta (jika beliau mau) dimakamkan di Inggris Raya. Gelar ini pun lebih tinggi daripada pesepak bola terkenal, David Beckham, yang ‘hanya’ bergelar Officer of the Order of British Empire (OBE) dan beberapa orang populer lainnya di Inggris.
Membaca buku berjudul CERITA AZRA: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra seperti sebuah cerminan tentang apa yang mungkin pembaca dapatkan dalam hidup, selama mau berusaha cukup keras. Apa pun bisa dicapai jika kita berupaya; seperti ungkapan populer dalam bahasa Inggris, the sky’s the limit. Pemikiran Azyumardi yang moderat juga sangat berguna untuk diambil sebagai pelajaran. Dia termasuk salah satu dari sedikit pemikir Islam yang bisa mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang bertentangan. Pikirannya cukup terbuka dan hatinya cukup lembut untuk dapat melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut, kecenderungan yang tidak dimiliki semua orang.
Buku biografi yang ditulis seorang Editor, Andina Dwifatma, ini juga mengupas intisari pemikiran Azyumardi yang menyepakati pendapat bahwa cendekiawan semestinya dapat merekontekstualisasi berbagai gagasan yang bertebaran di dunia pemikiran dengan situasi negara, sehingga menjadi bermanfaat untuk banyak pihak. Di samping itu, dia juga seorang aktivis. Di kisahkan bagaimana dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai Presidium Pimpinan Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), juga pernah menjabat Rektor UIN Jakarta, yang tentu saja untuk menangani semua itu tidak hanya cukup dengan konsep dan wacana serta teoritis. Sehingga, dia lebih pas dipandang sebagai ‘intelektual organik’.
Di antara berbagai hal yang biasanya beliau periksa dengan saksama, berkomentar dengan referensi yang kuat, dan analisis tajam mengenai dunia Islam, pendidikan, politik, dan sejarah --dalam biografi ini ada rangkuman empat pokok bahasan yang mendapat perhatian utama. Apa saja itu, tentu butuh berlembar-lembar untuk menyampaikannya dalam resensi ini. Bila CERITA AZRA ini ada di hadapan pembaca, sepertinya ini bisa diposisikan sebagai sebuah pengantar bagi pembaca yang ingin lebih jauh menyelami pemikiran sang intelektual organik ini.
Kombinasi pencapaian dan karakter Azyumardi menghasilkan sebuah cerita panjang yang darinya dapat disarikan suatu pelajaran. Dengan demikian, rasanya tidak terlalu salah jika penulis berharap biografi singkat —yang lebih tepat disebut kumpulan features—ini mengungkapkan kisah kehidupan Azyumardi Azra beserta sisi-sisi menarik kehidupannya yang jarang diketahui masyarakat. Dengan membaca buku ini, Anda akan terinspirasi oleh kisah hidupnya.
Judul : CERITA AZRA: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra
ISBN : 978-979-099-313-6
Penulis : Andina Dwifatma
Editor : Adhika Prasetya Kusharsanto
Penerbit : Erlangga
Cetakan : Maret 2011
Tebal : 248 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14,5 x 21 cm
Kategori : Biografi
Bandung, 17 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 19 Mei 2013
Kamis, 16 Mei 2013
Resensi Buku - DREAM
Mimpi Ustaz Yusuf Mansur
Ustaz Yusuf Mansur dikenal sebagai Pemimpin Pondok Pesantren Daarul Qur’an, Bulak Santri, Cipondoh, Tangerang, dan pemimpin pengajian Wisata Hati. Ustaz yang lahir di Jakarta, 19 Desember 1976 ini telah melalui perjalanan berliku sampai menjadi seorang ustaz terkenal, seperti sekarang.
Buku dengan judul Dream ini adalah buku ke sekian karya sang ustaz yang juga telah menulis buku-buku yang ternyata mendapat sambutan luar biasa dari pembacanya, seperti Wisata Hati Mencari Tuhan yang Hilang, Kuliah Tauhid, Boleh Gak Sih, dan Sedekah Ngarep. Dream ini bukanlah mimpi mengenai harta, jabatan, atau mimpi-mimpi keduniaan lainnya yang bersifat fana. Dream adalah mimpi mengenai bagaimana Alquran begitu mudah dan indah dibumikan dalam beragam bentuk.
Tidak semua orang mempunyai keinginan. Tidak semua orang mempunyai impian. Tidak sedikit juga yang hidupnya datar, kosong, sepi dari keinginan dan impian. Hidup orang yang tidak mempunyai keinginan bukan berarti baik. Dia tidak akan mempunyai motivasi dan semangat dalam hidup. Bahkan, hal itu berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Contohnya, ada seorang pekerja. Sebutlah dia sebagai pesuruh. Coba tanya, apakah mereka mempunyai impian. Tidak semua pekerja itu akan mampu menjawab, “Punya!” Ada yang ingin meneruskan kuliah. Ada yang ingin menjadi staf. Ada yang ingin memiliki rumah sendiri. Ada yang ingin menikah. Ada yang ingin memberangkatkan kedua orang tuanya beribadah haji. Ada yang ingin membayar utangnya. Bisa jadi jawaban itu muncul setelah ada pemicu. Setelah ditanya, barulah mereka memikirkan langkah selanjutnya yang akan mereka tempuh.
Ustaz Yusuf Mansur memang memimpikan keindahan luar biasa untuk masa tuanya. Dia bermimpi bahwa yang menggantikannya menjadi imam adalah anak dan cucunya yang sudah hafal Alquran. Dia sedang memimpikan indahnya hidup jika setiap pemimpin daerah adalah sosok yang hafal Alquran sehingga menjadi imam, minimal imam tarawih dan qiamulail dalam safari bulan Ramadhan di setiap masjid. Alangkah indahnya jika yang menjadi imam di sebuah perusahaan adalah komisaris atau presiden direkturnya yang sudah hafal Alquran. Alangkah indahnya jika dalam berbagai bidang kehidupan terdapat syarat harus hafal Alquran.
Mimpikah? Penulis buku ini hakulyakin bahwa hal tersebut bukanlah mimpi. Dengan segala usaha yang gigih dan penuh semangat, dia merasakan satu per satu dari mimpinya itu mulai menjadi kenyataan. Apa saja mimpi yang sudah mulai menjadi kenyataan tersebut? Bagaimana usaha penulis dalam mewujudkan mimpinya tersebut? Buku dengan tebal 264 halaman yang diterbitkan Sygma Examedia Arkanleema ini dapatlah menjadi jawabannya. Silakan membaca impian-impian dalam buku ini dari lembar awal sampai lembar terakhir. Sungguh buku yang penuh inspirasi!
Jadi, jika Anda memiliki keinginan untuk berubah, bolehlah itu disebut impian. Dan, kejar harapan itu dengan tindakan nyata.
Judul : DREAM
Penulis : Ustaz Yusuf Mansur
Editor : Safitri Lusiana D., dkk.
Diterbitkan : Sygma Creative Media Corp.
PT Sygma Examedia Arkanleema
Cetakan I : Maret 2013
Tebal : xii+ 364 halaman
ISBN : 978-979-055-455-0
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 13,5 x 20,5 cm
Kategori : Kisah Inspiratif
Bandung, 8 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 12 Mei 2013
Ustaz Yusuf Mansur dikenal sebagai Pemimpin Pondok Pesantren Daarul Qur’an, Bulak Santri, Cipondoh, Tangerang, dan pemimpin pengajian Wisata Hati. Ustaz yang lahir di Jakarta, 19 Desember 1976 ini telah melalui perjalanan berliku sampai menjadi seorang ustaz terkenal, seperti sekarang.
Buku dengan judul Dream ini adalah buku ke sekian karya sang ustaz yang juga telah menulis buku-buku yang ternyata mendapat sambutan luar biasa dari pembacanya, seperti Wisata Hati Mencari Tuhan yang Hilang, Kuliah Tauhid, Boleh Gak Sih, dan Sedekah Ngarep. Dream ini bukanlah mimpi mengenai harta, jabatan, atau mimpi-mimpi keduniaan lainnya yang bersifat fana. Dream adalah mimpi mengenai bagaimana Alquran begitu mudah dan indah dibumikan dalam beragam bentuk.
Tidak semua orang mempunyai keinginan. Tidak semua orang mempunyai impian. Tidak sedikit juga yang hidupnya datar, kosong, sepi dari keinginan dan impian. Hidup orang yang tidak mempunyai keinginan bukan berarti baik. Dia tidak akan mempunyai motivasi dan semangat dalam hidup. Bahkan, hal itu berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Contohnya, ada seorang pekerja. Sebutlah dia sebagai pesuruh. Coba tanya, apakah mereka mempunyai impian. Tidak semua pekerja itu akan mampu menjawab, “Punya!” Ada yang ingin meneruskan kuliah. Ada yang ingin menjadi staf. Ada yang ingin memiliki rumah sendiri. Ada yang ingin menikah. Ada yang ingin memberangkatkan kedua orang tuanya beribadah haji. Ada yang ingin membayar utangnya. Bisa jadi jawaban itu muncul setelah ada pemicu. Setelah ditanya, barulah mereka memikirkan langkah selanjutnya yang akan mereka tempuh.
Ustaz Yusuf Mansur memang memimpikan keindahan luar biasa untuk masa tuanya. Dia bermimpi bahwa yang menggantikannya menjadi imam adalah anak dan cucunya yang sudah hafal Alquran. Dia sedang memimpikan indahnya hidup jika setiap pemimpin daerah adalah sosok yang hafal Alquran sehingga menjadi imam, minimal imam tarawih dan qiamulail dalam safari bulan Ramadhan di setiap masjid. Alangkah indahnya jika yang menjadi imam di sebuah perusahaan adalah komisaris atau presiden direkturnya yang sudah hafal Alquran. Alangkah indahnya jika dalam berbagai bidang kehidupan terdapat syarat harus hafal Alquran.
Mimpikah? Penulis buku ini hakulyakin bahwa hal tersebut bukanlah mimpi. Dengan segala usaha yang gigih dan penuh semangat, dia merasakan satu per satu dari mimpinya itu mulai menjadi kenyataan. Apa saja mimpi yang sudah mulai menjadi kenyataan tersebut? Bagaimana usaha penulis dalam mewujudkan mimpinya tersebut? Buku dengan tebal 264 halaman yang diterbitkan Sygma Examedia Arkanleema ini dapatlah menjadi jawabannya. Silakan membaca impian-impian dalam buku ini dari lembar awal sampai lembar terakhir. Sungguh buku yang penuh inspirasi!
Jadi, jika Anda memiliki keinginan untuk berubah, bolehlah itu disebut impian. Dan, kejar harapan itu dengan tindakan nyata.
Judul : DREAM
Penulis : Ustaz Yusuf Mansur
Editor : Safitri Lusiana D., dkk.
Diterbitkan : Sygma Creative Media Corp.
PT Sygma Examedia Arkanleema
Cetakan I : Maret 2013
Tebal : xii+ 364 halaman
ISBN : 978-979-055-455-0
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 13,5 x 20,5 cm
Kategori : Kisah Inspiratif
Bandung, 8 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 12 Mei 2013
Resensi Buku - MARKESOT BERTUTUR LAGI
Markesot ‘Hanyalah’ Sebuah Cara (Tetap) Menjadi Manusia
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, penulis esai, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Cak Nun sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yaitu Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), dan Markesot Bertutur Lagi (1994). Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, dia juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Nah, Anda yang beruntung memiliki/membaca Markesot Berutur Lagi ini merupakan karya Cak Nun edisi terbaru (2013) dari edisi lama yang terbit pada Agustus 1994. Dalam buku setebal 342 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini, Cak Nun memberikan alasan mengapa sang tokoh, Markesot, menjadi sentral dalam penggalan-penggalan cerita yang memenuhi sembilan bagian dalam buku ini. Menurutnya, Markesot memang salah seorang tokoh dalam kehidupan pribadinya. Sebab, yang kemudian mendorong Cak Nun menuliskan hal-hal yang awalnya berangkat dari ketokohan Markesot adalah filsafat dan sikap hidupnya.
Menurutnya, Markesot tipe manusia alam. Dalam hal teknik dan keahlian apa pun yang dia miliki, dia seorang “seniman”. Dia tidak punya cita-cita. Tidak punya gagasan apa pun tentang yang disebut masa depan. Tidak membayangkan apa-apa tentang perjalanan hidupnya. Tidak mencemaskan hari tuanya. Tidak memimpikan istri atau anak. Dia tidak memikirkan bagaimana warna bajunya atau potongan rambutnya –meskipun yang ini mulai berubah sesudah sang sarjana (istrinya yang sarjana sedangkan dirinya sendiri hanya tamat sekolah dasar) berhasil menaklukkan hatinya.
Cak Nun dan Markesot memang sama-sama pernah duduk di sekolah dasar, kemudian lama sekali keduanya berpisah. Awal-awal Cak Nun menulis seri Markesot, menurutnya, sekadar merekonstruksi kenangan atas teman kanak-kanaknya itu dan memodifikasikannya menjadi tokoh imajiner yang diperlukan oleh masyarakat pembaca dalam situasi sejarah seperti sekarang. Setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian, akhirnya Cak Nun bertemu kembali dengan Markesot, ternyata kebanyakan yang dituliskan itu relatif sinkron dengan Markesot yang sesungguhnya –meskipun dalam banyak hal dan tema, tentu saja, bersifat fiksi dan idealisasi. Penulis mengakui bahwa untuk sejumlah tulisan, Markesotnya adalah penulis itu sendiri; dan pada tulisan lain, merekalah Markesot: ada semacam inter-identifikasi antara sang Markesot dan sang penulis.
Pada hakikatnya, Markesot hanyalah sebuah cara (untuk tetap) bertahan menjadi manusia. Markesot Bertutur Lagi merupakan kelanjutan petualangan sang tokoh dalam mengarungi samudra permasalahan kita. Dibandingkan dengan buku pertamanya (Markesot Bertutur), buku keduanya (Markesto Bertutur Lagi) lebih seru dan lebih mengajak kita untuk merenungi hakikat kehidupan –tanpa menghilangkan sama sekali nuansa guyonan yang memang telah menjadi ciri khasnya.
Representasi Markesot hanyalah sedikit eksperimentasi untuk memberitahukan kepada banyak orang bahwa manusia dan kemanusiaan sesungguhnya tetap bisa dipertahankan. Manusia Markesot sekadar mengupayakan agar di tengah riuh-rendah orkestra zaman yang dahsyat ini sesekali terdengar dentingan logam hati-nurani.
Judul : MARKESOT BERTUTUR LAGI
ISBN : 978-979-433-763-9
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, PT Mizan Pustaka
Cetakan : Edisi Baru, Februari 2013
Halaman : 342 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14 x 20,5 cm
Kategori : Sosial Budaya
Bandung, 3 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 5 Mei 2013
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jatim, 27 Mei 1953. Dia adalah seorang budayawan multitalenta: penyair, penulis esai, pegiat teater, pemusik, dan lain-lain. Sebagai seorang penulis, Cak Nun sangat produktif, telah menghasilkan puluhan buku. Di antara karya-karya emasnya yaitu Dari Pojok Sejarah (1985), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Markesot Bertutur (1993), dan Markesot Bertutur Lagi (1994). Selain berkiprah di dunia tulis-menulis, dia juga merupakan motor penggerak di balik kelompok musik Kiai Kanjeng dan pengajian komunitas Jamaah Maiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Nah, Anda yang beruntung memiliki/membaca Markesot Berutur Lagi ini merupakan karya Cak Nun edisi terbaru (2013) dari edisi lama yang terbit pada Agustus 1994. Dalam buku setebal 342 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan ini, Cak Nun memberikan alasan mengapa sang tokoh, Markesot, menjadi sentral dalam penggalan-penggalan cerita yang memenuhi sembilan bagian dalam buku ini. Menurutnya, Markesot memang salah seorang tokoh dalam kehidupan pribadinya. Sebab, yang kemudian mendorong Cak Nun menuliskan hal-hal yang awalnya berangkat dari ketokohan Markesot adalah filsafat dan sikap hidupnya.
Menurutnya, Markesot tipe manusia alam. Dalam hal teknik dan keahlian apa pun yang dia miliki, dia seorang “seniman”. Dia tidak punya cita-cita. Tidak punya gagasan apa pun tentang yang disebut masa depan. Tidak membayangkan apa-apa tentang perjalanan hidupnya. Tidak mencemaskan hari tuanya. Tidak memimpikan istri atau anak. Dia tidak memikirkan bagaimana warna bajunya atau potongan rambutnya –meskipun yang ini mulai berubah sesudah sang sarjana (istrinya yang sarjana sedangkan dirinya sendiri hanya tamat sekolah dasar) berhasil menaklukkan hatinya.
Cak Nun dan Markesot memang sama-sama pernah duduk di sekolah dasar, kemudian lama sekali keduanya berpisah. Awal-awal Cak Nun menulis seri Markesot, menurutnya, sekadar merekonstruksi kenangan atas teman kanak-kanaknya itu dan memodifikasikannya menjadi tokoh imajiner yang diperlukan oleh masyarakat pembaca dalam situasi sejarah seperti sekarang. Setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian, akhirnya Cak Nun bertemu kembali dengan Markesot, ternyata kebanyakan yang dituliskan itu relatif sinkron dengan Markesot yang sesungguhnya –meskipun dalam banyak hal dan tema, tentu saja, bersifat fiksi dan idealisasi. Penulis mengakui bahwa untuk sejumlah tulisan, Markesotnya adalah penulis itu sendiri; dan pada tulisan lain, merekalah Markesot: ada semacam inter-identifikasi antara sang Markesot dan sang penulis.
Pada hakikatnya, Markesot hanyalah sebuah cara (untuk tetap) bertahan menjadi manusia. Markesot Bertutur Lagi merupakan kelanjutan petualangan sang tokoh dalam mengarungi samudra permasalahan kita. Dibandingkan dengan buku pertamanya (Markesot Bertutur), buku keduanya (Markesto Bertutur Lagi) lebih seru dan lebih mengajak kita untuk merenungi hakikat kehidupan –tanpa menghilangkan sama sekali nuansa guyonan yang memang telah menjadi ciri khasnya.
Representasi Markesot hanyalah sedikit eksperimentasi untuk memberitahukan kepada banyak orang bahwa manusia dan kemanusiaan sesungguhnya tetap bisa dipertahankan. Manusia Markesot sekadar mengupayakan agar di tengah riuh-rendah orkestra zaman yang dahsyat ini sesekali terdengar dentingan logam hati-nurani.
Judul : MARKESOT BERTUTUR LAGI
ISBN : 978-979-433-763-9
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Mizan, PT Mizan Pustaka
Cetakan : Edisi Baru, Februari 2013
Halaman : 342 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14 x 20,5 cm
Kategori : Sosial Budaya
Bandung, 3 Mei 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 5 Mei 2013
Resensi Buku - IBUNDA: Guru dan Sahabat Menuju Dewasa
Sosok Ibu dalam Keberhasilan Generasi Penerus
Bagaimana seorang ibu (muslimah) bertindak baik mendidik anaknya? Ibu yang baik itu seperti apa sosok dan sikapnya? Ibu yang bagaimana yang bisa menjadi sahabat sejati sang buah hati?
Dunia anak merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Anak bukan saja buah dari cinta antara dua insan (laki-laki dan perempuan) yang oleh Allah saling dipertemukan, namun yang lebih penting lagi adalah anak merupakan cikal bakal generasi penerus manusia.
Anak dalam rentang masa perkembangannya, usia 0 sampai 6 tahun, oleh para ahli pendidikan disebut sebagai masa emas (golden age). Terbukti dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat ketika anak usia dini. Kurang lebih 50% variabilitas kecerdasan anak terjadi saat mencapai usia 4 tahun, bertambah 30% sampai berusia 8 tahun, dan bertambah 20% sampai usia 18-20 tahun.
Itu artinya pada masa tersebut terdapat fase kehidupan yang amat vital dan sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Dengan segala sifat, ciri-ciri, keistimewaan, dan potensi-potensinya yang serba spesifik, ia merupakan landasan dasar bagi fase-fase kehidupan berikutnya. Dengan demikian, usaha-usaha pendidikan bagi mereka pada masa itu harus menjadi skala prioritas, dan diorientasikan sesuai dengan tantangan masa depan mereka kelak.
Ibu, dalam hal ini berperan sebagai pembentuk dasar bagi kepribadian anak dalam keluarga. Ibu memikul tanggung jawab yang integral dan kompleks. Ibu yang memiliki keterkaitan, baik secara fisik maupun psikis, secara tidak langsung telah melakukan usaha-usaha pendidikan sejak dari kandungan sampai masa-masa perkembangan anak selanjutnya. Seringnya intensitas seorang ibu berinteraksi dengan anak pada usia dini mendukung sekaligus menuntut tugas dan peran ibu secara optimal sebagai pendidik anak dalam keluarga.
Melihat begitu urgennya peran ibu, khususnya dalam pendidikan anak usia dini, Maya Mar’atus Shalihah sebagai penulis IBUNDA: Guru dan Sahabat Menuju Dewasa, terdorong untuk menyusun buku ini, yang pada dasarnya dilandasi oleh pengalaman dan pengamatannya dari hasil interaksi dengan dunia anak. Dan ternyata seorang ibu, meski tanpa gelar sarjana pendidikan sekali pun, mampu memberikan aplikasi-aplikasi edukasi pada anak-anak.
Setiap ibu pasti memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai pada diri anak. Namun demikian, buku setebal 148 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Marja ini bisa menjadi alternatif-alternatif praktis bagi pelaksanaan tugas dan peran seorang ibu. Sehingga mewujud harapan menjadi sesosok ibu (muslimah) yang bertindak baik dalam mendidik anak dan sekaligus menjadi sahabat sejati sang buah hati. Ingatlah! Munculnya generasi berkualitas, tidak lepas dari peran seorang ibu!
Judul : IBUNDA: Guru dan Sahabat Menuju Dewasa
ISBN : 979-979-24-5760-4
Penulis : Maya Mar’atus Shalihah
Penerbit : Penerbit Marja
Cetakan : Maret 2013
Halaman : 148 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14,5 x 21 cm
Kategori : Pendidikan
Bandung, 26 April 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 28 April 2013
Bagaimana seorang ibu (muslimah) bertindak baik mendidik anaknya? Ibu yang baik itu seperti apa sosok dan sikapnya? Ibu yang bagaimana yang bisa menjadi sahabat sejati sang buah hati?
Dunia anak merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Anak bukan saja buah dari cinta antara dua insan (laki-laki dan perempuan) yang oleh Allah saling dipertemukan, namun yang lebih penting lagi adalah anak merupakan cikal bakal generasi penerus manusia.
Anak dalam rentang masa perkembangannya, usia 0 sampai 6 tahun, oleh para ahli pendidikan disebut sebagai masa emas (golden age). Terbukti dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat ketika anak usia dini. Kurang lebih 50% variabilitas kecerdasan anak terjadi saat mencapai usia 4 tahun, bertambah 30% sampai berusia 8 tahun, dan bertambah 20% sampai usia 18-20 tahun.
Itu artinya pada masa tersebut terdapat fase kehidupan yang amat vital dan sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Dengan segala sifat, ciri-ciri, keistimewaan, dan potensi-potensinya yang serba spesifik, ia merupakan landasan dasar bagi fase-fase kehidupan berikutnya. Dengan demikian, usaha-usaha pendidikan bagi mereka pada masa itu harus menjadi skala prioritas, dan diorientasikan sesuai dengan tantangan masa depan mereka kelak.
Ibu, dalam hal ini berperan sebagai pembentuk dasar bagi kepribadian anak dalam keluarga. Ibu memikul tanggung jawab yang integral dan kompleks. Ibu yang memiliki keterkaitan, baik secara fisik maupun psikis, secara tidak langsung telah melakukan usaha-usaha pendidikan sejak dari kandungan sampai masa-masa perkembangan anak selanjutnya. Seringnya intensitas seorang ibu berinteraksi dengan anak pada usia dini mendukung sekaligus menuntut tugas dan peran ibu secara optimal sebagai pendidik anak dalam keluarga.
Melihat begitu urgennya peran ibu, khususnya dalam pendidikan anak usia dini, Maya Mar’atus Shalihah sebagai penulis IBUNDA: Guru dan Sahabat Menuju Dewasa, terdorong untuk menyusun buku ini, yang pada dasarnya dilandasi oleh pengalaman dan pengamatannya dari hasil interaksi dengan dunia anak. Dan ternyata seorang ibu, meski tanpa gelar sarjana pendidikan sekali pun, mampu memberikan aplikasi-aplikasi edukasi pada anak-anak.
Setiap ibu pasti memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menanamkan nilai-nilai pada diri anak. Namun demikian, buku setebal 148 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Marja ini bisa menjadi alternatif-alternatif praktis bagi pelaksanaan tugas dan peran seorang ibu. Sehingga mewujud harapan menjadi sesosok ibu (muslimah) yang bertindak baik dalam mendidik anak dan sekaligus menjadi sahabat sejati sang buah hati. Ingatlah! Munculnya generasi berkualitas, tidak lepas dari peran seorang ibu!
Judul : IBUNDA: Guru dan Sahabat Menuju Dewasa
ISBN : 979-979-24-5760-4
Penulis : Maya Mar’atus Shalihah
Penerbit : Penerbit Marja
Cetakan : Maret 2013
Halaman : 148 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 14,5 x 21 cm
Kategori : Pendidikan
Bandung, 26 April 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 28 April 2013
Resensi Buku - PENGARANG TIDAK MATI
Mukjizat Tulisan
Menyimak pengertian pengarang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, pertama, orang yang mengarang cerita, berita, buku, dsb; penulis; kedua, pencipta, penggubah (lagu, nyanyian, musik, dsb). Pada resensi buku berjudul Pengarang Tidak Mati ini, lebih mengkhususkan pada karya-karya tulis. Jadi, tulisan, apa pun jenisnya –esai, cerpen, novel, puisi, drama, catatan harian, laporan jurnalistik, atau entah apa lagi —ternyata punya garis hidup sendiri; membawa nasibnya entah ke mana.
Ada tulisan yang prematur, lalu mengembuskan napas. Boleh jadi ada yang lahir dengan usia pendek. Ada pula yang bertahan mengikuti usia penulisnya. Ada yang hanya tersimpan rapi di rak perpustakaan. Bahkan, sangat mungkin ada yang berusia panjang, tentu saja dengan di sana-sini mengalami revisi. Serta, sudah barang tentu banyak pula yang bertahan begitu lama sampai entah kapan sehingga bakal abadi sepanjang usia peradaban manusia.
Mungkin sidang pembaca sudah merasakan dan membuktikannya, bahkan bila diminta menyebutkan salah satunya, tentu dengan mudah bisa memberikan contohnya lebih dari satu. Misalnya, Anda terkenang dengan kisah-kisah Arab, Seribu Satu Malam, atau epos Yunani, Hercules. Cerita keduanya seolah mengabadikan kehidupan sang tokoh, Aladin juga Hercules. Sampai-sampai di imajinasi anak-anak, selalu berharap ingin bisa kuat seperti Hercules dan ingin menemukan lampu ajaib agar mendapat tiga permintaan yang pasti terkabul.
Bukankah sampai sekarang dan entah sampai kapan, masih saja sekian banyak orang tiada jenuh menyelisik pemikiran-pemikiran, cerita-cerita atau apa pun tulisan mereka (pengarang-penulis). Itulah keajaiban tulisan. Itulah mukjizat tulisan. Selalu, karya-karya yang dihasilkan oleh kreativitas akan bertahan lama. Tulisan-tulisan yang baik, menyimpan sebagian ruh penulis atau pengarangnya. Selama tulisan itu dibaca masyarakat, selama itu pula ruh pengarang hadir dan sesungguhnya, dihidupkan kembali oleh pembaca.
Begitu juga karya-karya tulisan pengarang atau penulis Indonesia, seperti puisi-puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, atau karya penulis Indonesia yang lain, selalu akan mendorong munculnya tafsir baru, dan dengan begitu menghadirkan makna baru. Jadi, penafsiran dan pemaknaan itu bagai spiral yang terus berpilin memproduksi dan mereproduksi peristiwa baru, kisah baru, dunia baru.
Buku karya Munsyi Sastra, Maman S Mahayana, ini dikemasajikan dengan semangat seperti itu, memberi apresiasi yang sepatutnya kepada pengarang atas oleh kreativitas. Buku setebal 352 halaman ini menawarkan pandangan tentang posisi pengarang dalam hubungannya dengan tulisan yang dihasilkannya dan pembaca yang memproduksi dan mereproduksi makna tulisan. Dengan membaca buku ini, sidang pembaca akan dibawa untuk mencermati secara langsung, apa dan bagaimana sesungguhnya pandangan Anda tentang pengarang-penulis? Tentu saja karena sang munsyi sastra sekaligus kritikus sastra ini sengaja melampirkan esai-esai karya penulis ternama dari luar negeri juga penulis nusantara.
Lalu pembaca juga akan digiring untuk mengetahui, maknanya menghadirkan kembali pengarang, padahal pengarang sudah ikhlas melepaskan karyanya untuk dimacam-macami siapa pun pembacanya? Apakah pada akhirnya pembaca yang berkuasa atas tulisan? Jadi, tak apa-apa jika ada yang berkomentar, peduli amat dengan pengarang? Jika begitu, bagaimana mungkin kita menafikan pengarang?
Setelah Anda menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, berarti Sang Munsyi, Maman S Mahayana, telah berhasil mengajak sidang pembaca: bahwa tradisi kepengarangan Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri. Di sana bersemayam problem lokalitas dan keberagamaan kultur etnik. Maka, kesusastraan Indonesia dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami keberbagaian kebudayaan Indonesia.
Judul : PENGARANG TIDAK MATI: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia
ISBN : 978-602-8394-67-3
Penulis : Maman S Mahayana
Penerbit : Nuansa Cendekia
Cetakan : Juli 2012
Halaman : 352 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 15,5 x 23,5 cm
Kategori : Sastra
Bandung, 19 April 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 21 April 2013
Menyimak pengertian pengarang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, pertama, orang yang mengarang cerita, berita, buku, dsb; penulis; kedua, pencipta, penggubah (lagu, nyanyian, musik, dsb). Pada resensi buku berjudul Pengarang Tidak Mati ini, lebih mengkhususkan pada karya-karya tulis. Jadi, tulisan, apa pun jenisnya –esai, cerpen, novel, puisi, drama, catatan harian, laporan jurnalistik, atau entah apa lagi —ternyata punya garis hidup sendiri; membawa nasibnya entah ke mana.
Ada tulisan yang prematur, lalu mengembuskan napas. Boleh jadi ada yang lahir dengan usia pendek. Ada pula yang bertahan mengikuti usia penulisnya. Ada yang hanya tersimpan rapi di rak perpustakaan. Bahkan, sangat mungkin ada yang berusia panjang, tentu saja dengan di sana-sini mengalami revisi. Serta, sudah barang tentu banyak pula yang bertahan begitu lama sampai entah kapan sehingga bakal abadi sepanjang usia peradaban manusia.
Mungkin sidang pembaca sudah merasakan dan membuktikannya, bahkan bila diminta menyebutkan salah satunya, tentu dengan mudah bisa memberikan contohnya lebih dari satu. Misalnya, Anda terkenang dengan kisah-kisah Arab, Seribu Satu Malam, atau epos Yunani, Hercules. Cerita keduanya seolah mengabadikan kehidupan sang tokoh, Aladin juga Hercules. Sampai-sampai di imajinasi anak-anak, selalu berharap ingin bisa kuat seperti Hercules dan ingin menemukan lampu ajaib agar mendapat tiga permintaan yang pasti terkabul.
Bukankah sampai sekarang dan entah sampai kapan, masih saja sekian banyak orang tiada jenuh menyelisik pemikiran-pemikiran, cerita-cerita atau apa pun tulisan mereka (pengarang-penulis). Itulah keajaiban tulisan. Itulah mukjizat tulisan. Selalu, karya-karya yang dihasilkan oleh kreativitas akan bertahan lama. Tulisan-tulisan yang baik, menyimpan sebagian ruh penulis atau pengarangnya. Selama tulisan itu dibaca masyarakat, selama itu pula ruh pengarang hadir dan sesungguhnya, dihidupkan kembali oleh pembaca.
Begitu juga karya-karya tulisan pengarang atau penulis Indonesia, seperti puisi-puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, atau karya penulis Indonesia yang lain, selalu akan mendorong munculnya tafsir baru, dan dengan begitu menghadirkan makna baru. Jadi, penafsiran dan pemaknaan itu bagai spiral yang terus berpilin memproduksi dan mereproduksi peristiwa baru, kisah baru, dunia baru.
Buku karya Munsyi Sastra, Maman S Mahayana, ini dikemasajikan dengan semangat seperti itu, memberi apresiasi yang sepatutnya kepada pengarang atas oleh kreativitas. Buku setebal 352 halaman ini menawarkan pandangan tentang posisi pengarang dalam hubungannya dengan tulisan yang dihasilkannya dan pembaca yang memproduksi dan mereproduksi makna tulisan. Dengan membaca buku ini, sidang pembaca akan dibawa untuk mencermati secara langsung, apa dan bagaimana sesungguhnya pandangan Anda tentang pengarang-penulis? Tentu saja karena sang munsyi sastra sekaligus kritikus sastra ini sengaja melampirkan esai-esai karya penulis ternama dari luar negeri juga penulis nusantara.
Lalu pembaca juga akan digiring untuk mengetahui, maknanya menghadirkan kembali pengarang, padahal pengarang sudah ikhlas melepaskan karyanya untuk dimacam-macami siapa pun pembacanya? Apakah pada akhirnya pembaca yang berkuasa atas tulisan? Jadi, tak apa-apa jika ada yang berkomentar, peduli amat dengan pengarang? Jika begitu, bagaimana mungkin kita menafikan pengarang?
Setelah Anda menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, berarti Sang Munsyi, Maman S Mahayana, telah berhasil mengajak sidang pembaca: bahwa tradisi kepengarangan Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri. Di sana bersemayam problem lokalitas dan keberagamaan kultur etnik. Maka, kesusastraan Indonesia dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami keberbagaian kebudayaan Indonesia.
Judul : PENGARANG TIDAK MATI: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia
ISBN : 978-602-8394-67-3
Penulis : Maman S Mahayana
Penerbit : Nuansa Cendekia
Cetakan : Juli 2012
Halaman : 352 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 15,5 x 23,5 cm
Kategori : Sastra
Bandung, 19 April 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 21 April 2013
Langganan:
Postingan (Atom)