Kesulitan mendapatkan air bersih yang dirasakan sebagian masyarakat itu menyentuh keprihatinan penulis di samping mengingatkan kembali bahwa karunia Allah SWT berupa air kehidupan itu sungguh sangat besar dan selanjutnya harus disyukuri dengan berupaya memelihara karunia tersebut.
Juga mengingatkan penulis terhadap rilis yang disampaikan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Mohamad Hasan, saat membaca satu majalah terkemuka di Indonesia. Dia menerangkan bahwa Indonesia ternyata memiliki potensi sumber daya air yang sangat berlimpah dengan jumlah total 3.900 miliar m3 per tahun yang tersebar ke dalam 7.956 sungai dan 521 danau. Bahkan, Indonesia menduduki posisi ke-5 sebagai negara yang memiliki cadangan air terbesar di dunia. Namun, ketersediaan air di Indonesia yang berada di atas rata-rata dunia itu masih terkendala dengan sebarannya yang tidak merata.
Ketersediaan air itu dipengaruhi lagi oleh musim, letak geografis, kondisi geologis, dan sebaran curah hujan yang sangat bervariasi di seluruh daerah Nusantara ini. Selain kendala tersebut, masih ditambah lagi kendala pengelolaan sumber daya air yang sangat kompleks, di antaranya meluasnya daerah aliran sungai (DAS) yang semakin kritis, adanya ketimpangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air baik itu kuantitas maupun kualitasnya, meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya alih fungsi lahan, dan lain sebagainya.
Karena itu, air merupakan zat yang paling esensial dibutuhkan oleh makhluk hidup dan bagian terpenting dari kehidupan ekosistem ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa air adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, apakah praktik dan perilaku kita sudah mengimplementasikan dan menggambarkan begitu pentingnya karunia tersebut?
Air Sebuah Bencana Sekarang ini, di musim penghujan ini, kita dapat menyaksikan melalui layar televisi, membaca koran, atau bahkan sebagian masyarakat ada yang merasakan dahsyatnya bencana yang melanda dan menimpa daerah di pelosok Nusantara yang disebabkan oleh air. Dari mulai banjir bandang yang diakibatkan sungai yang tidak lagi bisa menampung volume air sehingga tanggul sungai jebol dan meluap ke wilayah di sekitarnya. Juga banjir di perkotaan dikarenakan drainase dan tata kelola kota yang buruk serta pemeliharaan sarana dan prasarana yang tidak berkelanjutan.
Masih terekam dalam ingatan, bencana besar yang dialami saudara kita di kawasan Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten, yang menimbulkan banyak kerugian harta dan korban jiwa. Di Indonesia, bencana selalu terjadi sepanjang tahun dan berulang. Ini menunjukkan bahwa potensi bencana ke depan sangat besar.
Bahkan sepekan kemarin, bencana banjir bandang terjadi di Solok Selatan, Sumatera Barat, Sabtu (15/12). Kemudian banjir bandang di Lemboto, Gorontalo, Sabtu (15/12). Meluapnya Sungai Kelayan di Kalimantan. Bencana tanah longsor di Sukabumi yang menimpa para petambang emas, serta longsor yang menimpa beberapa daerah di Nusantara. Bencana banjir juga melanda beberapa kota besar di Indonesia karena buruknya sistem drainase, seperti di daerah Ibu Kota Jakarta dan Surabaya.
Seperti kita ketahui bahwa kondisi tata guna lahan seperti yang ada di sekitar Situ Gintung, Solok Selatan, Lemboto, Sukabumi, Jakarta, Surabaya, dan yang lain di seluruh Indonesia ada banyak sekali. Banyak permukiman dan lahan-lahan yang padat penduduknya tinggal bersebelahan dengan waduk-waduk besar, di sekitar tebing, di daerah terjal, maupun di pinggir sungai. Potensi jebolnya tanggul, longsornya tebing, dan runtuhnya daerah dengan kemiringan curam sangatlah besar.
Penyebab bencana tersebut memang ada yang ditimbulkan oleh alam. Secara alami bencana selalu terjadi di muka bumi, misalnya, karena curah hujan yang sangat tinggi. Tapi, yang lebih memprihatinkan adalah bencana yang diakibatkan olah manusia yang mengeksploitasi alam ini secara berlebihan.
Oleh karena itu, mulai saat ini, saatnya bagi kita melakukan gerakan konservasi pada diri sendiri. Syukur-syukur bisa memperluas gerakan ini dengan melibatkan peran bersama masyarakat yang memang tidak terelakkan. Dengan menggunakan teknologi sederhana dan murah dengan berbasis kearifan lokal masyarakat. Seperti, pembuatan biopori di sekitar tempat tinggal, pembuatan sumur resapan di setiap rumah untuk membantu meningkatkan terserapnya air ke tanah. Kemudian, mengajak kita semua untuk menghemat air, menanam pohon, mengolah limbah rumah tangga, dan mengolah sampah organik yang ada. Jika itu semua bisa dilaksanakan, maka sumber daya air bisa terbarui atau berkelanjutan.
Jadi, kesadaran Anda bahwa air sebagai salah satu sumber kehidupan sekaligus juga mempunyai daya rusak yang besar, mengharuskan Anda menentukan konsekuensi. Tindakan apa yang ingin Anda tuai hasilnya, berkah atau bencana? (*) Bandung, 20 Desember 2012
Suro Prapanca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar