BUKU, bagi Pramoedya Ananta Toer, dianggap seperti anaknya sendiri. Setelah dewasa, mereka lepas dari orangtua dan bisa membangun hidup sendiri. Maka, mau dilarang, diinjak, ataupun dibakar, itu merupakan sejarah buku itu sendiri, kata ayah enam orang anak itu.
Dengan prinsip seperti itu, ia tak merasa perlu berutang budi kepada mereka yang meminta pemerintah agar mencabut pelarangan buku-bukunya. Walau tak bisa dimungkiri, sebagaimana umumnya pengarang, Pram akan senang bila buah pikirannya dibaca orang. Inilah yang mungkin terjadi pada buku Hoakiau di Indonesia. Buku karangannya yang dilarang dan dalam waktu dekat akan dicetak lagi ini diduga bakal laris terjual. Ketika diterbitkan pada 1960, belum lagi turun dari percetakan, 10 ribu eksemplar buku itu sudah habis terjual. Cetakan berikutnya, dua kali lipat jumlahnya, langsung disita begitu turun dari mesin.
"Buku itu dilarang karena saya dituduh berkhianat menjual negara ke RRC," kata Pram. Ketika itu Menteri Luar Negeri Soebandrio memang sedang terlibat polemik dengan RRC. Ide buku itu, menurut Pram, berangkat dari penindasan pemerintah terhadap warga Tionghoa. Dengan membuat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1955 [sic:'59], saat itu pemerintah melarang warga Tionghoa berdagang di desa-desa. Bahkan, menurut Pram lagi, sikap diskriminasi itu merembet ke pembunuhan warga Cina di Jawa Barat.
Dari peristiwa inilah, Pram tergerak membela mereka dengan menulis surat di koran Bintang Timur. Tulisannya itu ternyata mendapat perhatian luas dari pembaca, sampai kemudian diterjemahkan ke bahasa Kamboja, Burma, dan Tiongkok. Penerbit Bintang Press pun tertarik untuk membukukannya.
Hoakiau di Indonesia ini mempunyai kenangan khusus baginya karena buku itu menyebabkan ia ditahan. Saat itu, ia dipanggil oleh Penguasa Perang Tertinggi untuk diwawancarai oleh Mayor Sudharmono, yang belakangan menjadi wakil presiden. Lalu, oleh petugas CPM, saya dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo, cerita Pram. Tiga bulan ia meringkuk di tempat ini sebelum dipindahkan ke LP Cipinang. Keluarganya tak tahu di mana ia berada, padahal saat itu anaknya yang nomor enam dilahirkan. Mereka baru mengerti setelah diberi tahu seorang pejabat rumah tahanan Budi Utomo, Jakarta Pusat.
Soal penahanan sebenarnya bukan hal yang asing bagi putra kelahiran Blora, Jawa Tengah itu. Tahun 1947 ia sudah pernah ditahan oleh pemerintah Belanda di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Tapi aksi itu tak memadamkan semangatnya untuk terus berkarya. Dari tangannya lahir Cerita dari Blora, Perburuan dan Keluarga Gerilya, yang bisa beredar di masyarakat.
Namun, setelah itu, pelarangan seolah melekat pada buku-bukunya, terutama setelah selama 14 tahun (1965-1979) ia dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat Lekra, organisasi kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Padahal, dari Pulau Buru inilah lahir novel-novel yang luar biasa. Sayang, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca itu tak bisa beredar karena pemerintah menilai buku-buku tersebut berwarna komunis. Ketika sudah keluar dari Pulau Buru, bukunya Sang Pemula dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu juga tak luput dari pelarangan.
Upaya pembungkaman yang dilakukan pemerintah ini tak sepenuhnya efektif karena secara sembunyi-sembunyi orang bisa mendapatkan buku-buku tersebut. Akankah buku Hoakiau di Indonesia yang akan diterbitkan ulang itu bakal dilarang lagi? Semoga saja tidak. Sebab, kata penerima hadiah Magsasay ini, buku tersebut adalah dokumentasi yang relevan dengan peristiwa kerusuhan anti-Cina yang sekarang terjadi. Paling tidak, kerusuhan pada l740 di Batavia, yang menyebabkan sekitar 10 ribu warga Tionghoa terbunuh, bisa dijadikan pengalaman agar peristiwa serupa tak terulang.
Zed Abidien dan Purwani D. Prabandari
Tempo, 6 Oktober 1998
X-URL: http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/index-isi.asp?rubrik=buk&nomor=2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar