Senin, 21 Oktober 2013

Resensi Buku - IDRIS SARDI, Perjalanan Maestro Biola Indonesia

Perjalanan MAESTRO BIOLA INDONESIA

Kemana pun pergi gendang suara telinga kita
Apabila masih dengan biola ada urusannya
500 musik dan teater, 900 aransemen banyaknya
Maka dengan Idris Sardi pasti kita bertemunya
Bagaimana bunyi dawai itu kok bisa jadi semacam sihir yang mencekam
Mengiris menyayat perasaan, air mata menitik diam-diam
Tapi juga kepala bisa bergoyang kiri dan kanan karena riang
….

Penggalan puisi yang sengaja Taufiq Ismail sampaikan khusus untuk Sang Maestro Biola, yang dikutip dalam buku ini. Barangkali bila kita berbicara biola, ingatan kita tertuju pada Idris Sardi. Ya, Idris Sardi, yang lahir di Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta), 7 Juni 1938 adalah seorang pemain biola Indonesia. Dia adalah anak dari pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta, Mas Sardi.


Tapi sebelum menapak di tangga tertinggi sebagai Maestro Biola Indonesia, mungkin tak ada yang menyangka, ternyata masa kanak-kanak Idris Sardi jauh dari kata bahagia. Ia “menggadaikan” masa kecil untuk satu cinta pada biola. Bahkan, Suka Hardjana, salah seorang sahabat Idris, sampai menyebutkan bahwa Idris Sardi tak punya masa kanak-kanak.

Idris Sardi sendiri sering menjuluki fase hidup masa kecilnya yang berat dengan istilah seperti di “lumpur becek”. Bahkan, Idris kecil sempat merasa seperti anak pungut karena didikan ayahnya yang penuh disiplin. Aneh memang, keras dan tegasnya sang ayah itu hanya ditujukan padanya seorang, tidak pada adik-adiknya.

Buku biografi Idris Sardi: Perjalanan Maestro Biola Indonesia yang ditulis Fadli Zon ini bercerita dari awal sampai dengan kehidupannya sekarang (75 tahun). Biografi ini bercerita dari masa kelahiran, kemudian kanak-kanak. Penemuan bakat besar bermusik Idris Sardi masa kanak-kanak yang ditemukan oleh sang guru utama musiknya, sekaligus juga ayahnya sendiri, Mas Sardi. Selanjutnya, masa remajanya, yang juga terampas karena ditinggal untuk selama-lamanya oleh ayahandanya tercinta.

Di usianya yang 15 tahun, dia mendapat cobaan yang begitu besar. Meskipun sang ayah berlaku kasar dan sangat disiplin, tapi dia merasakan kehilangan yang mendalam. Sebagai anak sulung, serta-merta beban ekonomi keluarga berpindah ke pundaknya. Ia masih terlalu muda untuk menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi ibu serta tujuh orang adiknya.

Tapi memang, cobaan dan masalah yang dia hadapi telah membuatnya lebih kuat dan tegar, dibandingkan orang yang terus senang dan tak mengalami hal-hal yang menyakitkan. Pun, cerita tentang pertemuan beliau dengan Zerlita (yang dicomblangi alm Bing Slamet), ibu dari tiga buah hatinya yang berbakat di dunia akting dan musik, Santi Sardi, Lukman Sardi, dan Ajeng Sardi. Di biografi ini juga, beliau menceritakan tentang “kegagalan berumah tangga” dengan Marini Zumarnis. Alih-alih menyalahkan orang lain, malah beliau merasa dialah yang bersalah, Dia merasa tak mampu menjaga istri dan keutuhan keluarganya dengan baik.

“Semoga biografi ini bisa bermanfaat buat negeri dan bangsa ini, juga kelak untuk cucu-cucu dan keturunan selanjutnya,” Santi Sardi. Dan memang, sejarah telah membuktikan dan juga menyaksikan sampai di usianya yang sudah 75 tahun ini, Idris Sardi, adalah nama besar dalam perjalanan musik Indonesia. Seorang jenius yang menjadi legenda hidup. Jejak langkahnya begitu panjang terserak dalam sejarah.

Judul : IDRIS SARDI, Perjalanan Maestro Biola Indonesia
Penulis : Fadli Zon
Diterbitkan : Fadli Zon Library
Cetakan Pertama : 2013
Tebal : 356 halaman
ISBN : 978-602-994458-8-1
Jenis Cover : Hard Cover
Dimensi : 24 x 30,5 cm


(Suro Prapanca)
Bandung, 18 Oktober 2013 

Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 20 Oktober 2013 

Rabu, 16 Oktober 2013

Resensi Buku - INFERNO

INFERNO, Jurang Neraka Tanpa Dasar

Novel Inferno (Neraka) karya Dan Brown ini memiliki hubungan erat dengan mahakarya sastra Italia, Divina Commedia atau yang dikenal dengan nama Divine Comedy dalam bahasa Inggris. Puisi karya sastrawan besar Italia, Dante Alighieri, ini menceritakan perjalanan Dante—yang dipandu oleh Virgil—dalam mengunjungi tiga alam, Inferno (neraka), Purgatorio (api penyucian), dan Paradiso (surga). Inferno, yang merupakan awal dari karya ini adalah judul yang dipilih oleh Dan Brown untuk novel terbarunya.

Sejak bulan Mei 2012, Brown memang telah mengumumkan bahwa ia sedang menulis sebuah buku baru, meskipun ia menutupi topik yang sedang ditulisnya. Brown baru mengungkapkan lebih banyak informasi—menjelang penerbitan—bahwa novel ini akan berlatar di Eropa, di salah satu tempat paling mengagumkan yang pernah dikunjungi olehnya. Sama seperti Angels & Demon, Brown kembali menggunakan Italia sebagai latar novelnya, dan melanjutkan petualangan professor sejarah seni dan simbologi favorit, Robert Langdon.


Divine Comedy, yang menjadi inspirasi Brown dalam menulis Inferno, merupakan salah satu mahakarya di dunia kesusastraan, yang ditulis Dante di antara tahun 1308-1321. Yang menjadi misteri, menurut Italian Dante Society, saat itu tidak ada satu pun naskah asli Dante yang selamat, meskipun tertinggal salinan yang merupakan sisa dari cetakan sebelumnya.

Cerita novel thriller yang penuh dengan trik dan petualangan menegangkan ini berawal saat tengah malam, Robert Langdon terbangun di rumah sakit dan syok saat mendapati dirinya ada di Florence, Italia. Padahal, ingatan terakhirnya adalah berjalan pulang setelah memberi kuliah di Harvard. Belum sempat Langdon memahami keganjilan ini, dunianya meledak dalam kekacauan. Di depan mata, dokter yang merawatnya ditembak mati. Langdon berhasil lolos berkas Sienna Brooks, seorang dokter muda yang penuh rahasia.

Dalam pelarian, Langdon menyadari bahwa dia memiliki sebuah stempel kuno berisi kode rahasia ciptaan ilmuwan fanatik yang terobsesi pada kehancuran dunia berdasarkan mahakarya terhebat yang pernah ditulis—Inferno karya Dante. Ciptaan genetis ilmuwan tersebut mengancam kelangsungan umat manusia, Langdon harus berpacu dengan waktu memecahkan teka-teki yang berkelindan dalam puisi-puisi gelap Dante Alighieri. Belum lagi, dia harus menghindari sepasukan tentara berseragam hitam yang bertekad menangkapnya.

Langdon seperti menempatkan dirinya seperti jutaan manusia lainnya, bersalah untuk hal ini. Ketika berhadapan dengan masalah dunia, penyangkalan menjadi pandemik global. Langdon berjanji bahwa dia tidak akan pernah melupakannya hal ini. “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.” Bagi Langdon, makna kata-kata tersebut tidak pernah sejelas saat ini: “Dalam masa berbahaya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada tetap diam.”

Inilah karya Dan Brown berikutnya setelah sukses dengan The Da Vinci Code, novel yang paling banyak dibaca sepanjang waktu, dan juga bestseller internasional The Lost Symbol, Angels & Demons, Deception Point, dan Digital Fortress. Sekali lagi dia menunjukkan kegeniusannya mengolah sejarah, seni, kode, dan simbol dalam sebuah kisah Inferno, yang kembali menegaskan kejayaannya sebagai perajut kisah yang luar biasa.

Judul : INFERNO
Penulis : Dan Brown
Penerjemah : Ingrid Dwijni Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani
Diterbitkan : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan I : September 2013
Jumlah Halaman : 644 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 15,5 x 23,5 cm
Kategori : Novel

(Suro Prapanca)
Bandung, 11 Oktober 2013
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 13 Oktober 2013

Resensi Buku - Little Women

ROMANTIKA 4 BERSAUDARI

Karya klasik yang tak lekang oleh waktu ini bercerita tentang kehidupan empat bersaudari, suatu masa di Concord, Massachusetts. Little Women diterbitkan pada abad ke-19, novel ini disebut sebagai karya paling realis di antara novel-novel sejenis yang lebih menawarkan mimpi dan idealisme. Dialah Louisa May Alcott, sang penulis yang telah menghadirkan cerita realis tersebut dengan menerbitkannya dalam sebuah novel yang sedang Anda baca sekarang ini. Di samping itu, dia juga telah menulis lebih dari tiga puluh judul buku dan kumpulan cerita.

Karier kepenulisannya dimulai dari menciptakan karya-karya indah dalam puisi serta cerita-cerita menarik dalam cerpen, yang kemudian dimuat di majalah-majalah ternama. Buku pertamanya, Flower Fables, diterbitkan pada 1854. Kemudian novel yang tengah Anda baca ini, Little Women, ditulis pada 1868, menjadi karya pertama di Amerika yang memotret tokoh remaja perempuan dengan sikap-sikap realistis, alih-alih menggambarkan tokoh yang sempurna di kebanyakan fiksi anak-anak saat itu.


Sang penulis sepertinya merepresentasikan watak pribadinya dalam tokoh Jo March di novel Little Women ini, dia berwatak tomboi sewaktu masih remaja, dan juga memiliki tiga saudara perempuan. Sepertinya dia menghidupkan kembali karakter orang-orang terdekatnya dalam sebuah tokoh-tokoh utama yang mengisi perjalanan cerita dalam novel ini. Pertama, Meg (saudari tertua dari empat bersaudara), si Cantik keibuan yang bermimpi menjadi ratu bergaun indah. Jo, si Tomboi yang sangat mencintai buku dan sastra. Beth, si Pendiam yang begitu berbakat memainkan piano. Dan si bungsu, Amy, Michelangelo kecil dengan sketsa-sketsa memukau di kertas gambarnya.

Hari-hari mereka sederhana, tapi dilingkupi kehangatan. Walaupun tak pernah luput dari masalah, kesedihan, ketidakpuasan, bahkan pertengkaran, mereka tak pernah berhenti saling mencintai dan teramat bersyukur memiliki satu sama lain. Sang Ibu yang selalu berada di samping mereka memberi banyak inspirasi dan semangat, sementara bocah laki-laki bernama Laurie, yang ikut serta dalam setiap petualangan keempat gadis itu, membawa keceriaan tak tergantikan.

Novel dengan tebal 436 halaman ini yang terdiri atas babak demi babak cerita (sampai 23 babak) ini benar-benar menciptakan empat karakter wanita yang paling dicintai dalam dunia sastra Amerika sampai saat ini (Penguin Classics).

Lewat Little Women, Louisa May Alcott menyuratkan kebahagiaan dalam kesederhanaan, dan menunjukkan bahwa rumah mungil pun dapat menjadi istana indah dengan kehadiran orang-orang tercinta. Dia meninggal pada 6 Maret 1888 dan dimakamkan di Sleepy Hollow Cemetery di Concord.

Judul : LITTLE WOMEN
ISBN : 978-602-9225-76-1
Karya : Louisa May Alcott
Penerjemah : Utti Setiawati
Penyunting : Prisca Primasari
Proofreader : Emi Kusmiati
Diterbitkan : Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka
Cetakan I : Maret 2013
Tebal : 436 halaman
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 13,5 x 20,5 cm
Kategori : Novel

Bandung, 27 September 2013
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 29 September 2013

Resensi Buku - SEPULUH TAHUN KOPERASI (1930-1940)

Koperasi Melawan Kapitalisme 

Koperasi adalah pilar bagi ekonomi rakyat. Gerakan koperasi merupakan wadah organisasi pergerakan dalam melawan kapitalisme, dan tentunya kolonialisme. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh founding father bangsa ini, Soekarno (Presiden Pertama RI), kolonialisme sebenarnya tak lain adalah terusan dari kapitalisme.

Dalam sejarah perkembangan koperasi di Indonesia, memang berangkat dari perjuangan beberapa orang yang penghidupannya sederhana dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh penderitaan dan beban ekonomi, secara spontan mempersatukan diri untuk menolong diri sendiri dan manusia sesamanya. Koperasi dikenalkan di Indonesia oleh seorang Pamong Praja Patih R Aria Wiria Atmaja di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tahun 1896. Pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan kongres koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Tanggal dilaksanakannya kongres ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.


Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun 1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).

Buku Sepuluh Tahun Koperasi (1930-1940) karya RM Margono Djojohadikusumo ini bisa disebut sebagai buku paling klasik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia mengenai perkembangan gerakan koperasi di negeri Indonesia. Ini merupakan warisan intelektual yang dapat menjelaskan lahirnya di Hindia Belanda. Sehingga kedudukan buku ini menjadi sangat penting dalam melihat perkembangan koperasi di masa awal pergerakan.

RM Margono Djojohadikusumo (1894-1978) ayahanda dari Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, bukan hanya seorang sarjana dengan latar belakang pendidikan yang cukup, juga seorang pegawai Jawatan Perkreditan Rakyat (dan kemudian Jawatan Koperasi) pada pemerintahan kolonial dengan pengalaman lapangan yang panjang. Ia seorang nasionalis yang memperhatikan dan terlibat dalam persoalan-persoalan mikro. Dengan demikian buku ini bukan sekadar produk pengamatan dari belakang meja, melainkan juga refleksi atas pengalaman penulisnya bergelut dengan persoalan kredit rakyat dan koperasi dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Dalam kelembagaan koperasi, rakyat ditempatkan sebagai subjek (people based) sekaligus sebagai pusat dari kegiatan ekonomi (people centered). Ini jelas berseberangan dengan gagasan kapitalisme yang berpijak pada paham individualisme, atau berorientasi pada kepentingan diri sendiri (self interst). Meski begitu mulia tujuan yang ingin dicapai dalam lembaga koperasi ini, tapi sepertinya sampai saat ini pertentangan antara gerakan koperasi dan kapitalisme belum akan berakhir. Sehingga, penerbitan ulang buku ini seolah menghangatkan kembali ingatan kita tentang pentingnya perekonomian rakyat. Hanya di atas pilar kuatnya ekonomi rakyat, maka Indonesia bisa bertegak menghadapi tantangan zaman.

Judul : SEPULUH TAHUN KOPERASI (1930-1940)
Penulis : RM Margono Djojohadikusumo
Diterbitkan : Fadli Zon Library
Cetakan Edisi Baru : Juli 2013
Tebal : 136 halaman
ISBN : 978-602-7898-04-2
Jenis Cover : Hard Cover
Dimensi : 15,5 x 24 cm


(Suro Prapanca)
Bandung, 4 September 2013 

Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 6 Oktober 2013