Senin, 14 Januari 2013

Resensi Buku - The Court of The Lion

Novel Sejarah Berlatar Dinasti Tang 

The Court of The Lion, sebuah novel sejarah yang berlatar Dinasti Tang di Cina. Dinasti yang hampir menguasai seluruh daratan Cina pada 618 – 907 M. Dinasti Tang adalah satu dari tiga dinasti yang paling berpengaruh di Cina sepanjang sejarahnya. Kisah Cina abad kedelapan yang rumit tersingkap secara perlahan-lahan bagaikan bunga teratai yang mekar di dalam novel memikat ini.

Sejarah mencatat, Dinasti Tang yang menguasai Cina setelah menggantikan Dinasti Sui yang berumur pendek, didirikan oleh keluarga Li. Li Yuan mendirikan dinasti ini pada tahun 618 dan menetapkan Chang'an sebagai ibu kota dinasti ini.


Novel setebal 928 halaman ini adalah bagian akhir (ketiga) dari The Court of The Lion, menggambarkan cerita secara dramatis dan memukau, menghidupkan intrik yang mengelilingi Dinasti Tang, lengkap dengan liku-liku kisah tentang cinta, kesetiaan, kekuasaan, keberanian, dan pengkhianatan.

Ditulis dengan mendetail dan melalui peneletian yang cermat terhadap sejarah, karakter-karakter dan peristiwa sehingga novel ini begitu nyata sekaligus menghibur. Dikisahkan, An Lu-shan semakin dicintai oleh Sang Kaisar dan Istri Kesayangan, bahkan diangkat menjadi anak dengan gelar “Bayi Keberuntungan”. Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya dalam peperangan di wilayah utara semakin membuat popularitas dan karier militer Sang Jenderal Barbar itu tidak terbendung sekaligus membuat Yang Kuo-chung dan Kao Li-shih semakin khawatir akan kelicikan dan tipu dayanya dalam memanfaatkan kebaikan Sang Kaisar.

Sementara itu, kesehatan Perdana Menteri Li Lin-fu yang semakin memburuk di satu sisi menjadi kabar baik, tetapi di sisi lain menjadi kabar buruk karena dialah satu-satunya yang ditakuti oleh An Lu-shan.

Dan, bagaimana jadinya bila kekuatan An Lu-shan semakin meningkat sementara kekuatan Sang Kaisar semakin melemah, terlena dalam petualangan cintanya dengan Istri Kesayangan? Apa yang harus dilakukan Kao Li-shih dan Yang Kuo-chung demi menyelamatkan kekaisaran dari ancaman musuh di perbatasan dan para pengkhianat di dalam istana?

Kolosal, menghanyutkan dalam intensitas, dan dihidupkan dengan begitu cemerlang. Penuh dengan warna … sangat menarik … misteri, roman, dan petualangan bercampur dengan sejarah dalam novel tak terlupakan tentang cinta, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Tentu saja, penuturan kisah Eleanor Cooney dan Daniel Altieri dalam novel ini tentu tidak akan terasa begitu lancar dinikmati para pencinta novel di Tanah Air, tanpa peran penerjemah Fahmy Yamani, penyunting Adi Toha, dan pemeriksa aksara Dian Pranasari.

Judul : The Court of The Lion
Diterjemahkan dari : The Court of The Lion 
ISBN : 978-979-024-382-8 
Karya : Eleanor Cooney dan Daniel Altieri 
Penerjemah : Fahmy Yamani 
Diterbitkan : PT Serambi Ilmu Semesta 
Cetakan I : Oktober 2012 
Tebal : 928 halaman 
Jenis Cover : Soft Cover 
Dimensi : 13 x 20,5 cm 
Kategori : Novel 

Bandung, 11 Januari 2012
Suro Prapanca
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 13 Januari 2013

Minggu, 06 Januari 2013

Resensi Buku - TENUN BIRU

Dari Janus untuk Ratna 

“… Warga perempuan dan anak-anak mulai ketakutan. Saat kondisi sudah terjepit, suata tembakan dari aparat kepolisian mengagetkan semuanya. Warga yang menyerang Desa Rawa Sampih berusaha bubar berlari mencari tempat persembunyian. Namun, tiba-tiba seseorang berlari sambil menusuk perut Ratna dengan pisau bergerigi. Ratna terempas. 
“Bu Ratna!” teriak warga. 
“Shit! Bangsat kalian!” Janus berlari mengejar orang yang menusuk Ratna dibantu beberapa warga. 
…” 

Satu kejadian di pengujung cerita novel Tenun Biru yang hampir saja mengubah semua rencana masa depan sepasang kekasih, Janus dan Ratna.


Ratna terlahir dari keluarga mampu, punya pendidikan bagus, pekerjaan mapan, serta selalu peduli dengan sekitarnya. Sedangkan Janus menjadi orang mapan dan punya segalanya karena nasib. Keduanya bertemu dengan segala perbedaan pandangan pikiran.

Namun, mereka harus menjalani kebersamaan memasuki tempat-tempat kumuh hingga pedalaman Indonesia: Dayak di Kalimantan, Karimunjawa, Kota Tua, Bali, Toraja, dan Desa Rawa Sampih.

Mengarungi perjalanan yang sulit. Berdua menggali nilai-nilai peradaban, bertemu dan berbagi ragam ilmu dengan anak-anak pelosok yang terpinggirkan. Terkadang harus mempertaruhkan keselamatan. Kisah di dalamnya membungkus kecantikan Indonesia dalam derap naluri dan nurani-sekalipun tanpa harus terikat pada komitmen.

Ketika sebuah tanya dimunculkan, pengakuan harus terungkap di antara keduanya. Ketika Ratna dan Janus saling menggenggam harapan dan jawaban, malam itu juga Janus harus melihat Ratna bersimbah darah di pangkuannya. Rasa yang kian melebur saat nadi perempuan itu kian lemah.

Tenun Biru karya Ugi Agustono J ini seolah merupakan catatan penulis dengan menjadikan tokoh utama novel ini, Janus dan Ratna, untuk menjawab problem kemanusiaan di Indonesia. Sebuah novel yang ditulis dengan cara khusus dan bertujuan mewartakan nilai-nilai hidup masyarakat, juga persoalan yang kita hadapi.

Novel dengan tebal 362 halaman ini, juga terasa seperti feature yang ditulis pandai sebagai fiksi. Penulis membawa kita berkelana keliling Indonesia. Deskripsi yang detail membuat kita merasa ikut hadir dalam perjalanan Ratna dan Janus serta menikmati keindahan tempat-tempat yang mereka singgahi. Di dalamnya, memuat kisah hidup dua insan yang mengharu-biru, sekaligus mengedukasi kita akan keragaman wisata negeri ini.

Menikmati novel ini, pembaca “dipaksa” untuk merunutnya dari awal kisah pertemuan para tokoh utama sampai kejadian menegangkan, Suatu Petang di Rawa Sampih. Bagaimana selanjutnya kisah dan perjalanan sepasang kekasih, Janus-Ratna? Akankah jiwa Ratna, yang telah memberikan Janus dan warga kehangatan sinar-- memeluk kesejukan, kembali tersenyum dan memberikan cahaya?



Judul : TENUN BIRU 
Penulis : Ugi Agustono J 
Editor : Hermawan Aksan 
Diterbitkan : Penerbit Nuansa Cendekia 
Cetakan I : November 2012 
Tebal : 362 halaman 
Jenis Cover : Soft Cover 
Dimensi : 14,5 x 21 cm 
ISBN: 978-602-8394-22-2 
Kategori : Novel 


Bandung, 4 Januari 2012 
Suro Prapanca 
Dimuat juga di INILAHKORAN, Minggu 6 Desember 2012